IDENTITAS BUKU
Judul: Nadira
Penulis: Leila Salikha Chudori
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal: xi + 304 Halaman
ISBN: 978-602-424-272-5
Kang Arya, pernakah kau merasa hidupmu hanya bersinggungan dengan empat dinding lubang kubur?
―Nadira―
Sebenarnya ini bukanlah sebuah novel, ini merupakan kumcer. Ya, kawan-kawan penikmat sastra sering menyebutnya kumcer atau kumpulan cerpen. Namun, setiap cerpen di sini mengisahkan kehidupan seorang gadis sejak awal pertemuan sang ibu dengan ayahnya hingga akhirnya gadis ini berdamai dengan hatinya.
Leila S. Chudori memang terkenal pandai merangkai kata yang akan membuat hati para pembacanya bergejolak senang namun tiba-tiba marah, kembali bahagia dan murka begitu seterusnya.
Kisah ini tentang sosok seorang Nadira Suwandi yang pada suatu pagi menemukan ibunya tergeletak tewas bunuh diri. Nadira yang sejak awal memang ‘berbeda’ dari gadis lain semakin menjadi berbeda setelah kematian ibunya, dan kembali berubah saat seseorang berhasil membawa warna merah jambu dalam kehidupannya yang kelabu. Yang kemudian hanya selang beberapa tahun, hidupnya kembali menjadi kelabu. Nadira menyadari bahwa dia jauh dari kata damai atas kematian sang ibu.
Kisah ini menjelaskan sejak kecil Nadira harus mengalami banyak hal yang sebenarnya tak terlalu dia pahami. Sehingga memaksanya kembali membuka sejarah hidupnya satu per satu demi perdamaian diri.
Baiklah karena ini kumcer―yang setiap cerpennya mengisahkan kisah berurutan, maka setiap cerpen di sini akan menggunakan sudut pandang yang berbeda. Dan dengan semua jenis sudut pandang inilah, kita akan bisa menjadi “hakim” sebenarnya siapa yang bodoh di sini, siapa yang lugu di sini.
Jujur saja saya akan memberikan !!TRIGGER WARNING!! untuk kumcer ini. Karena ada beberapa hal yang cukup sensitif dan sedikit menggoyangkan psikis kita. Karena saya sendiri merasakan hal itu. Dan lagi, entah mengapa ada adegan ‘panas’―ya walaupun tidak sepanas film-film erotis―saya selalu terkejut jika adegan seperti itu ada di sebuah karya sastra asal Indonesia.
Dan entah bagaimana di sini sebuah pernikahan menurut saya dijadikan sebagai hal yang tidak sakral dan gampangan. Atau mungkin karena saya yang terlalu idealis? Entahlah. Di kumcer ini dengan mudah menikah dengan mudah bercerai dengan mudah menikah lagi dan bercerai lagi. Kemudian bertemu kawan lama, tidur bersamanya, memadu kasih. Berpindah negara berganti pasangan pula. Jujur saya sedikit terkejut dengan semua itu.
Dan jika kalian para penggemar romance, percayalah kalian akan sangat ingin membanting buku ini, membakar buku ini. Mungkin juga kalau bisa, kalian ingin menonjok langsung sosok Utara Bayu―baca sendiri jika kalian ingin merasakan sensasinya.
Kumcer ini jelas Leila buat demi membawa kita masuk ke dalam batin seorang Nadira. Kemudian membawa kita masuk ke dalam tubuh tokoh lain. Sederhana sebenarnya permasalahan yang diangkat, hanya soal kehidupan sehari-hari―yang sebenarnya juga amat jarang terjadi sebuah keluarga begitu memiliki masalah serumit ini. Namun saya benar-benar berhasil menerima pesan yang ingin di sampaikan.
Tentang tanggung jawab, kejujuran, ketulusan, kedamaian yang tentu saja tidak akan dengan mudah untuk digapai.
Saya menemukan hal manis, dimana dari sini kita akan semakin yakin bahwa doa dan pujian kepada Sang Kuasa akan membawa ketenangan. Dan juga secara jelas, di sini Leila menjelaskan secara gamblang bukti bahwa Tuhan akan selalu mengasihi mereka yang percaya pada-Nya. Ini salah satu hal sederhana yang begitu kuat dan mengena di hati saya.
Buku ini sangat tepat dinikmati jika kalian memang sedang dalam kondisi sehat mental dan membutuhkan sesuatu untuk mengisi waktu. Jika kalian sedang pusing dengan urusan duniamu, sebaiknya tunda dulu. Bukan karena bahasa yang tinggi, namun ya menurut saya cukup berbahaya bagi mental yang sedang goyah. Namun tak menutup kemungkinan kalian juga bisa mendapat kedamaian, sama yang Nadira dapatkan setelah membaca kisahnya.
Terkadang masalah itu tak mesti harus diselesaikan dengan perdebatan, pencarian jati diri, atau kalian berlari keluar menerabas hujan di tengah malam layaknya sinetron. Bisa dengan duduk bersandar menikmati secangkir kopi panas berteman buku ini atau sastra lain, kalian bisa memahami sebuah makna kehidupan dari sosok lain yang akan kalian masuki tubuhnya. Mungkin saja.
Aku tak bisa membayangkan gelapnya duniamu,
Nadira. Tapi kami semua menemani kamu…
mudah-mudahan suatu hari kami bisa melihat
wajahmu seperti ini,
―Kris―
Komentar
Posting Komentar